Kemitraan BKM dengan BRI mengalami hambatan yang dirasa cukup berat. Misalnya dalam hal pengajuan kerjasama permodalan. BRI melayani pengajuan kerjasama permodalan tersebut sebagai kredit dengan bunga 18% per tahun. Namun, untuk itu BRI menuntut bentuk kelembagaan berbadan hukum, seperti koperasi.
“Meski kelembagaan BKM sudah di-akta-kan, tetap tidak bisa diterima. Karena, selain akta lembaga juga harus memiliki izin badan hukum,” tutur Koordinator BKM Tlogo Makmur, Tulus Widodo SH. Apalagi, dengan bunga sebesar 18% per tahun, pihak BKM harus ‘kerja bakti’ dengan menanggung resiko yang tidak ringan.
Demi memenuhi tuntutan tersebut BKM Tlogo Makmur pun membentuk koperasi Tlogo Sejahtera yang berasal dari salah satu KSM binaannya. “Tapi, karena kami tidak terlibat sedikitpun dalam kepengurusan koperasi sesuai dengan konsep yang dikehendaki P2KP, maka—kami kira—akan banyak kesulitan yang kami hadapi nantinya,” jelas Tulus.
Kesulitan itu, lanjutnya, terkait konsep dasar kelembagaan koperasi dan BKM yang sangat berbeda. Koperasi berorientasi pada kesejahteraan anggota, sementara BKM berorientasi pada terangkatnya derajat masyarakat miskin menjadi masyarakat yang berdaya dan mandiri. “Sebagai pengurus BKM sifatnya relawan, tanpa mengharap kompensasi apa pun. Makanya, kami—pengurus BKM Tlogosari Makmur—tidak ada yang menerima insentif atau honor. Hanya tenaga UPK saja yang mendapatkan honor bulanan,” kata Tulus.
Masalah lainnya, jikapun melalui koperasi nanti BKM mendapatkan kucuran dana dari pihak ketiga (BRI—red) , bagaimana cara UPK BKM agar dapat mengakses dana tersebut belum diketahui. “Secara yuridis yang bisa kami lakukan adalah mengajukan pinjaman (kredit) untuk kemudian kita salurkan kepada KSM. Jika demikian, apa bedanya meminjam langsung dengan perbankan misalnya. Dari sini seharusnya konsep tentang koperasi ini diperjelas dan dipertegas. Karena konsep dasar kelembagaannya berseberangan, maka koperasi dan BKM tidak mungkin disatukan” tegas Tulus.
Untuk menjembatani pertentangan antara konsep koperasi dan realitas di lapangan, menurut Tulus perlu beberapa upaya. Pertama, perlu adanya dukungan sosialisasi baik dari pihak P2KP (DPU) maupun pemerintah daerah terhadap pihak ketiga yang memiliki konsen dalam penanggulangan kemiskinan. Apalagi, konsep kelembagaan BKM sebenarnya sudah bagus. Bahkan, pada BKM yang ‘baik’, UPKnya sudah memenuhi kriteria sebagai lembaga keuangan yang akuntable dan bankable.
Kedua, DPU harus mampu mendorong pemerintah membuat kebijakan agar program-program penanggulangan kemiskinan pada BUMN dan swasta diarahkan pada lembaga-lembaga tingkat kelurahan yang komit dalam penanggulangan kemiskinan. Hal ini juga sebagai upaya menghindari ketidaktepatan sasaran. Ketiga, konsep “koperasi dalam BKM” perlu ditinjau ulang, jangan sampai idealisme kerelawanan yang selama ini didengungkan menjadi hilang karena BKM harus mengikuti pola kerja koperasi.
Rabu, 06 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar